Friday, August 26, 2005

Harimau Jawa belum punah !?

Silakan percaya, Harimau Loreng koleksi kebun binatang, atau yang ada di sirkus, pasti dari sub species Harimau Sumatera. Silakan percaya pula, kalau Jawa sebenarnya punya jenis Harimau loreng. Nama kerennya Panthera tigris sondaica. Orang sekitar hutan biasa menyebut Macan Kembang Asem, Kyaine, Simbah, Gembong atau entah apapun namanya.

Perkara Harimau Jawa punah atau belum, ternyata bukan soal sepele. Selama ini antara “masyarakat ilmiah” dan masyarakat sekitar hutan terjadi silang pendapat. Para ahli menyatakan Harimau Jawa telah punah, menyusul saudara dekatnya, Harimau Bali (Panthera tigris balica). Dasarnya adalah berbagai penelitian yang dilakukan tidak pernah lagi menemukan sosok wujudnya.

Tahun 1974, penelitian Seidensticker dan Sujono di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jawa Timur memperkirakan Harimau Jawa tinggal 3 - 4 ekor. Berikutnya riset WWF di tempat yang sama tahun 1994, ternyata menunjukan hasil nihil. Kamera trap sistem injak yang dipasang tidak memotret satupun sosok Harimau Jawa. Celakanya, selama ini TNMB terlanjur ditetapkan menjadi habitat terakhir Harimau Jawa. Jadinya, kesimpulan punah menjadi tidak haram lagi. Pas benar, di habitat terakhir ternyata “tidak menemukan” Macan Loreng terakhir. Ujung-ujungnya, Desember 1996, CITES memutuskan vonis punah.

“Kecelakaan” lainnya terjadi ketika pemerintah melalui Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Departemen Kehutanan ikut-ikutan setuju atas klaim tersebut. Dalam buku Strategi Konservasi Harimau Sumatera halaman 4, jelas-jelas disebutkan Harimau Jawa punah. Belum lagi John Seidensticker, dalam buku terbarunya, Riding The Tiger, keluaran 1999, juga menjebloskan Macan Jawa pada label punah. Penelitian tentang Harimau Jawa berhenti, para pakar hidupan liar lantas tutup mata terhadap nasib harimau endemik Jawa itu.

Masalahnya jadi rumit ketika masyarakat tepi hutan justru yakin sebaliknya; Harimau Jawa masih ada. Masyarakat pinggiran hutan Gunung Slamet misalnya, menyatakan sering bertemu langsung saat pergi ke hutan. Kadang malah Macan Loreng itu yang dolan masuk ke perkampungan.

Masyarakat lereng barat Gunung Slamet, di Desa Krajan, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Brebes sering memergoki Macan Loreng turun ke desa. Bahkan minggu kemarin, satwa langka itu keluyuran ke dusun dan menggondol kambing milik warga. “Empat kambing milik mBok Kidem habis diambil tiap hari berturut-turut. Kandangnya dirusak, kambingnya dibunuh dan dibawa lari ke hutan,” ujar Mu’alim, perangkat desa Krajan. Mu’alim menolak kemungkinan warga salah lihat, antara Macan Tutul dan Harimau Loreng. “Warga di sekitar sini bisa membedakan antara Macan Kembang Asem dan Macan Tutul ataupun Kumbang. Kalau Kembang Asem bentuknya loreng dan ukurannya lebih besar dibanding Tutul atau Kumbang,” kata Mu’alim lagi.

“Pasti yang makan Macan Kembang Asem (istilah lokal untuk menyebut Harimau Jawa -her), karena beberapa hari sebelumnya banyak orang desa yang melihat. Warga juga niteni, macan besar itu pasti turun setiap bulan Maulud,” jelas Mu’alim yakin.

Didik Raharyono SSi, Koordinator Tim Pembela dan Pencari Fakta Harimau Jawa (TPPFHJ) sub divisi Pembelaan dan Pengkajian Lingkungan KAPPALA Indonesia mendukung pendapat masyarakat tentang Harimau Jawa, karena hutan di sekitar Gunung Slamet merupakan salah satu habitatnya. “Indikasi keberadaan Macan Loreng di Slamet sangat besar. Kami sudah melakukan pemantauan di hutan Slamet sejak setahun yang lalu,” ujar Didik.

Menurutnya, khusus untuk wilayah Krajan dan sekitarnya, TPPFHJ bersama Forum Dinamika Kepencintaalaman (FORDIK) Purwokerto sedang melakukan pemantauan bersama. Ditambahkan Didik, selama pemantauan di sekitar lokasi tim menemukan jejak yang berukuran besar, kotoran yang mengandung rambut satwa dan cakaran. “Jelas beda antara jejak Macan Tutul atau Kumbang dengan Macan Loreng. Kalau Loreng umumnya memiliki ukuran jejak lebih besar dibanding Tutul dan Kumbang. Kami saat ini sedang melakukan analisis rambut hasil temuan untuk memastikan satwa mangsa, tapi dari kenampakannya mirip rambut lutung,” jelas Didik yang peneliti hidupan liar lulusan Biologi UGM itu.

Menurutnya, hutan sekitar Krajan memang sangat potensial menjadi habitat Harimau Jawa, antara lain karena prey atau hewan mangsa masih sangat melimpah, seperti kijang, babi hutan, landak, trenggiling dan lutung. Vegetasi hutan juga masih mendukung, karena banyak tumbuhan tepus, ilalang, glagah, bambu, kaliandra, rotan, kenduru dan pakis.

Didik mengakui, temuan cakaran, jejak, rambut maupun kotoran Harimau Jawa menjadi data yang sangat berharga, karena untuk menemukan sosoknya langsung memang sulitnya bukan main. “Macan Loreng memiliki karakter sangat rapi saat menyembunyikan diri. Meski badannya tergolong besar, lebih besar dari Harimau Sumatera, tapi waktu berjalan tidak berisik,” ujar Didik menjelaskan.

Mu’alim setuju pendapat tersebut. “Orang tua saya malah pernah menemukan kijang sedang sekarat di hutan. Waktu nengok sambil teriak memanggil temannya, sekelabat kijang itu sudah hilang. Jadi sebenarnya Harimau Loreng sangat dekat sama bapak saya, tapi dia tidak tahu,” kisah Mu’alim.

Timbunan Tulang

Di Jogjakarta akhir Juni lalu, TPPFHJ juga menemukan jejak dan kotoran yang disinyalir milik Harimau Jawa. Temuan tersebut dikumpulkan ketika TPPFHJ melakukan pemantauan bersama petugas Jagawana UKSDA Kanwil Kehutanan DIY di wilayah Pundong, Bantul.

Menurut Didik, kondisi kawasan sekitar temuan masih memungkinkan menjadi habitat satwa langka tersebut karena banyaknya gua dan ketersediaan prey, misalnya musang, landak dan tikus. “Cuma, kondisi habitat di Bantul sangat berbeda dengan hutan Slamet. Di Bantul Harimau harus memiliki daya adaptasi yang sangat tinggi, karena hewan mangsa seperti kijang atau babi hutan tidak melimpah seperti di hutan Slamet. Buktinya, dari sampel kotoran kami temukan sisa-sisa remukan tulang satwa mangsa. Terus di lokasi tersebut kami juga menemukan timbunan tulang banyak sekali,” ujar Didik Raharyono.

“Gua-gua di sekitar dusun memang menjadi tempat istirahat Macan. Warga di sekitar sini juga pernah memergoki Macan Loreng tersebut,” kata Adi Winoto, Kepala Dusun di Pundong. Adi Winoto menambahkan, beberapa warga pernah memergoki Macan Loreng saat akan pergi ke ladang. Adi juga optimis, untuk ketemu harus menginap beberapa malam sambil membuat api unggun.

“Pernah ada seorang pertapa dari Imogiri tiba-tiba membatalkan niatnya karena didatangi Macan Loreng,” kata Adi lagi. Tempat-tempat itu memang jarang dijamah warga dusun, kecuali orang luar desa yang memang sengaja akan bertapa.

TPPFHJ tengah mengadakan kajian data-data temuan untuk menentukan prioritas pemantauan di lokasi-lokasi yang dianggap paling tepat. “Sekarang kami juga sedang mengupayakan pemotretan dengan kamera trap sistem inframerah. Kameranya pinjam ke Taman Nasional Meru Betiri. Pokoknya kami akan total riset untuk Macan Jawa, masak pelaporan masyarakat selalu diremehkan jika mengatakan masih menjumpai Macan Loreng,” ujar Didik semangat. Dari hasil pantauan TPPFHJ, beberapa tempat di Jogjakarta juga sering dikunjungi macan, misalnya di sekitar daerah Paliyan, Gunungkidul.

“Biarkan para pakar ngomong punah. Mereka toh bukan masyarakat lokal yang tinggal dekat hutan. Bukan masyarakat yang hidup dari hutan. Nah, tinggal kita percaya yang mana, masyarakat lokal atau para pakar?” ujar Didik saat ditanya tentang label punah atas Harimau Jawa.

Selama tiga tahun ini TPPFHJ melakukan studi dan pemantauan Harimau Jawa dari berbagai tempat, seperti di Meru Betiri, Raung, Ijen, Penanggungan, Arjuno, Wilis, Muria, Blora, hutan Gunung Slamet, sampai Jogjakarta, di Bantul dan Gunungkidul. “Dalam pemantauan kami tidak pernah sendiri, tapi melibatkan jagawana, pencinta alam dan masyarakat tepi kawasan misalnya pemburu, pawang macan, dan pencari kayu. Cita-cita kami pusat study Harimau Jawa harus ada di Jogjakarta, karena berbagai sampel temuan yang mengindikasikan keberadaan Harimau Jawa saat ini kita koleksi di Kappala, untuk kita pelajari bekas aktivitasnya” kata Didik menjelaskan.

Source : javantiger.or.id

8 comments:

Anonymous said...

untuk menyatakan punah atau tidak memang perlu penelitian lebih lanjut oleh para pakar dari dalam negeri sendiri jadi jangan cuma nerima laporan dari luar negeri yang belum tentu benar.Perlu juga melibatkan warga sekitar sebagai bahan acuan.

Anonymous said...

saya setuju kalau harimau jawa belum punah. asli saya dari bageng, salah satu desa di kabupaten pati. penjaga kebun kopi saya yang bernama Lek Sondong melihatnya ketika sedang menjaga perkebunan kopi di kawasan gunung muria beberapa minggu yang lalu.

amidari said...

Berikut berita tentang masih adanya keberadaan Harimau Jawa yang saya kutip dari DETIK.COM tgl 17/11/2008.

Pendaki Wanita Tewas di Gunung Merbabu, Diduga Diterkam Harimau

Parwito - detikNews

Magelang - Seorang wanita yang diperkirakan sebagai pendaki Gunung Merbabu mengalami nasib naas. Dia diduga tewas diterkam harimau di kawasan hutan Suroloyo, Dukuh Krembyungan, Desa Ketundan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Mayat wanita tanpa identitas itu pertamakali ditemukan oleh warga setempat bernama Juminten (53), sekitar pukul 14.00 WIB, Minggu 16 November. Saat itu Juminten sedang mencari rumput untuk pakan ternaknya.

"Kedua kakinya tinggal tulang. Lukanya kayak habis dimakan macan ," kata Juminten kepada detikcom, Senin (17/11/2008).

Juminten yang saat itu sangat kaget, langsung memberitahukan kejadian ini ke suaminya. Oleh suami Juminten, kejadian ini kemudian diteruskan ke Kepala Dusun, Darno (60).

Dalam sekejap, kabar penemuan mayat ini langsung menggegerkan warga setempat. Mereka berdatangan ke lokasi penemuan mayat tersebut untuk mengevakuasinya. Saat mendekati lokasi, warga dikagetkan dengan penampakan seekor harimau loreng. Namun melihat kedatangan warga dalam jumlah banyak, binatang langka itu langsung menghilang.

"Mayat ternyata tidak mempunyai identitas. Akhirnya kami putuskan untuk menguburnya di desa kami. Tapi dari perlengkapannya kemungkinan dia pendaki gunung," ujar Darno.

Ciri-ciri mayat perempuan itu berkulit sawo matang, berambut panjang, tinggi sekitar 160 centimeter. Korban membawa tas punggung besar yang biasa digunakan para pendaki gunung.

Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (BTNGM) Jawa Tengah, Untung Suprapto, membenarkan penemuan mayat wanita yang diduga menjadi korban serangan harimau. Menurut Untung, di hutan TNGM masih terdapat habibat harimau. Namun dia tidak tahu persis jumlah harimau penghuni TNGM.

"Kami belum pernah melihat langsung, tetapi cerita dari warga memang masih ada harimau di Merbabu. Di Desa Candisari, Kecamatan Ampel, Boyolali, juga pernah ada yang menemukan anak macan. Sempat diambil, tapi karena takut dikembalikan lagi ke tempat semula. Ketika petugas mengecek ke sana, macan-nya sudah pergi," tegas Untung.

Untung memperkirakan habitat macan tersebut berada di wilayah Gunung Merapi-Merbabu. Sebab home ring harimau mencapai 150 km persegi. Jadi kemungkinan wilayah habitatnya di gunung Merbabu-Merapi. Penyebab hewan buas itu keluar dari habitatnya karena makanan alaminya seperti rusa semakin berkurang.

"Dengan kejadian ini, para pendaki gunung sebaiknya semakin berhati-hati dan waspada," ujar Untung.

Tidak Ada Laporan Pendaki Hilang

Dalam kesempatan itu Untung juga menjelaskan, tidak ada laporan mengenai pendaki yang hilang. Untung menduga, korban melakukan pendakian tidak melalui jalur 'resmi' yang biasa dilewati para pendaki.

"Bisa juga dia tidak melapor saat melakukan pendakian," ungkap Untung.

(djo/djo)

mbahgundul said...

apa pun yang terjadi dengan macan Jawa. Punah atau tidak, hanya satu pesan saya. Lestarikanlah satwa langka Indonesia supaya tidak punah. Karena itu amanat dari Tuhan untuk kita manusia. Dan juga kalau anda sekalian tidak keberatan saya mau promosi blog saya. Bagi yang suka cerita lucu silahkan berkunjung ke blog saya di mbahedan.blogspot.com.

Anonymous said...

Saya percaya masyarakat lokal 100%...toh, pakar jarang terjun ke lokasinya langsung... menurut saya sekitar kuraahkan lebihng lebih antara 50ekor-an atau bahkan lebih... itu perkiraan saya

namun saya punya sedikit contohnya:
Tiga Harimau Berkeliaran di Makam
Sabtu, 24 Januari 2009 | 8:33 WIB Mataraman| SURYA-Tiga ekor harimau cokelat-loreng terlihat di beberapa tempat -termasuk di sebuah makam– di Dusun Dasun, Ringinagung, Kecamatan-Kabupaten Magetan. Warga menjadi resah dan takut oleh kehadiran tiga harimau yang diduga turun dari Lereng Gunung Lawu tersebut.

Informasi yang diperoleh Surya, Jumat (23/1), tiga binatang buas itu dilihat warga di area persawahan, makam, dan hutan jati dusun setempat sejak sekitar sepekan lalu. Kondisi tiga lokasi tersebut sangat rimbun, ditumbuhi pohon jati berusia antara 2 tahun-5 tahun, dan penuh rumput setinggi 2 meter-3 meter.

Sejumlah warga pemilik lahan pertanian, yang di lahannya terdapat jejak-jejak kaki tiga ekor harimau, tidak lagi berani mengerjakan lahan mereka, meski padi di sana sudah berusia 30 hari. Mereka takut harimau-harimau itu muncul lagi, kemudian memangsa warga saat di sawah.

Semula, tiga ekor harimau itu dilihat pertama kali oleh dua orang perumput asal Desa Sambirobyong, Sidodadi, Kabupaten Magetan, yakni Wiyono, 52, dan Teguh, 46, Sabtu (17/1) lalu. Saat itu mereka bersama dua teman duduk seusai merumput di lokasi yang berjarak antara 400 meter-500 meter dari Dusun Dasun dan Desa Sambirobyong.

“Saat itu saya kaget dan mengatakan amit-amit jabang bayi, kok masih ada macan di sini? Saat itu saya menghadap ke kiri, harimau betina dan dua anaknya itu menengok ke kanan. Saya langsung ambil sepeda dan pulang tanpa membawa hasil merumput. Sekarang saya tidak berani ke sana lagi,” katanya kepada Surya, Jumat (23/1).

Selang beberapa jam kemudian, tiga ekor harimau itu terlihat lagi pada posisi sekitar 50 meter dari pandangan mata Teguh, perumput lain. Sehari kemudian, tiga ekor harimau tersebut berpapasan dengan Kadiyo, 45. Pencari keroto alias telur serangga pohon jati ini lari langsung tebririt-birit meninggalkan telur serangga yang sudah dia temukan.

“Sangga sebagai alat utama saya mencari keroto, saya tinggalkan di semak-semak dekat makam yang ada penuh pohon jati. Wah, saya ndak berani lagi datang ke sana,” kenang Kadiyo.
Diwawancara terpisah, Suwarno, 46, warga RT 02, RW 02 Dusun Dasun, mengatakan bahwa di lahan pertaniannya terdapat banyak bekas kaki tiga harimau. Dia sudah melapor ke kamituwo dusun, yang kemudian meneruskan laporan ke pihak desa.

“Masih banyak jejaknya meski sudah tergerus air hujan. Di makam lebih banyak lagi bekas kaki harimau. Saya dan warga lain jadi ketakutan,” keluhnya.
Yakin
Adapun Kamituwo Dasun, yang akrab dipanggil Mbah Wo Kadirun, menjelaskan bahwa masalah tiga harimau itu semula hanya dianggap cerita dari mulut ke mulut. Namun setelah dilakukan pengecekan kepada beberapa orang yang mengaku melihat, diyakini bahwa memang ada tiga harimau masuk dusun.

Mbah Wo Kadirun kemudian membahas masalah itu dalam rapat yang dihadiri perwakilan warga dan jajaran perangkat desa, termasuk kepala desa. Hasil rapat, selain membuat laporan ke kepolisian dan pihak kecamatan, juga dilakukan sedekah yang dilaksanakan Kamis (22/1) petang dan Jumat (23/1).
Warga juga membuat perangkap harimau. Menurut rencana, perangkap itu akan diisi seekor kambing untuk menjebak tiga harimau tersebut, Jumat (23/1) malam.

“Kandang kambing sebagai perangkap sudah kami siapkan di tanah makam. Kalau besok (Sabtu, Red) pagi kambing itu menjadi korban harimau berarti warga harus berani menangkap mereka. Warga juga harus membersihkan lokasi yang rimbun agar harimau tak masuk lagi ke perkampungan dan menyebabkan warga takut,” katanya.

amidari said...

Menurut saya, meskipun memang benar-benar masih ada biarlah Harimau Jawa dianggap punah oleh masyarakat, biarkan mereka hidup dengan tenang tanpa diganggu manusia dengan dalih ilmu pengetahuan atau dengan alasan apapun, namun masyarakat juga harus hati-hati atas keganasan hewan yang perkasa ini.

syafri said...

Seblm puasa rekan2 saya naik gunung W (jawa timur)...membuka lintasan baru....perjalanam membutuhkan waktu 10 hari dr wilayah N Ke wilayah T....pada hari ke 5 ..6 orang anggota yg melakukan perjalanan tdb melihat Harimau yg kabur krn melihat rekan2 kami (bukti jejak dan kotoran dibawa sbg bukti) sayang ydk bisa diabadikan....

syafri said...

Seblm puasa rekan2 saya naik gunung W (jawa timur)...membuka lintasan baru....perjalanam membutuhkan waktu 10 hari dr wilayah N Ke wilayah T....pada hari ke 5 ..6 orang anggota yg melakukan perjalanan tdb melihat Harimau yg kabur krn melihat rekan2 kami (bukti jejak dan kotoran dibawa sbg bukti) sayang ydk bisa diabadikan....